Sejarah Aceh
Sulthan Alaiddin Ri’ayasyah menyatukan
kerajaan-kerajaan kecil itu dan menanamkan solidaritas beragama yang saat itu
masih beragam, demikian kisah menurut sebuah sumber. Sulthan Ri’ayatsyah
mangkat tahun 1508, lalu ia digantikan dengan putranya, Raja Uzir.
Tiga tahun kemudian, Portugis datang dan
menguasai Selat Malaka. Raja Aceh Darussalam meminta Uzir ikut berperang
melawan Portugis di Selat Malaka. Tampuk kekuasaan Negeri Daya pun dialihkan ke
Putri Nurul Huda, adik Uzir. Nurul Huda memerintah selama 23 tahun sebelum
akhirnya meninggal tahun 1534.
Sepeninggal Nurul Huda, Kerajaan Daya mengalami
kemunduran. Kerajaan pecah. Dua abad kemudian, datanglah Sulthan Jamalul Alam
Badrul Munir (1711-1735), Raja Kerajaan Aceh Darussalam. Sulthan Jamalul
menyatukan kembali Negeri Daya.
Semua raja, pemimpin adat, dan unsur-unsur elit
di Daya dikumpulkan. Hakim kerajaan, yaitu Hakim Setialila ditunjuk sebagai
koordinator pemerintahan di Negeri Daya untuk mendamaikan sengketa. Sejak saat
itulah, ritual seumuleng tiap Lebaran Haji digelar untuk mengenang jasa Raja.
Pusat Kerajaan Daya berada di Lamkuta atau Kuta
Dalam, sebuah tempat yang kini berada di Kawasan Desa Gle Jong, Kuala Daya,
Aceh Jaya. Namun, seperti halnya kraton kerajaan-kerajaan Aceh lainnya, tak ada
lagi bekas istana kerajaan yang masih masih tersisa saat ini.
Kemungkinan dulu dihancurkan Belanda karena
sejak kedatangan Belanda, sistem kerajaan diintervensi dan dimasukkan para
uleebalang (saudagar) kepercayaan mereka, sejak itu kerajaan pun menjadi surut
dan musnah
Baca lebih lengkap di http://www.mudhiatulfata.com/2016/08/raja-meureuhom-daya-dan-tradisi-di-aceh.html
--------------------------------------------------------------------------------
No comments:
Post a Comment